Sudah lama saya tidak menulis blog pribadi. Setelah menonton sebuah serial tv CSI, saya jadi ingin menulis lagi. Menulis dengan keinginan berbagi, mendokumentasikan, dan mengingatkan diri sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Berawal dari pemeriksaan sebuah rumah yang sulit dibuka pintunya dikarenakan ada banyak barang di belakang pintunya. Begitulah intro episode serial tersebut. Rupanya memang rumah tersebut begitu banyak barang, baik yang diletakkan secara bertumpuk atau secara sembarangan letaknya. Yang paling mengerikan sebenarnya adalah ditemukannya mayat yang sudah berhari-hari bahkan ada mayat yang sudah tinggal tulang. Yahh, namanya juga film CSI (Crime Scene Investigation), sepertinya tidak ada mayat tidak seru…
Namun, bagian menarik dari film tersebut bagi saya bukanlah pembunuhannya, akan tetapi gambaran seorang wanita (seorang ibu dengan 3 orang anak) yang suka menumpuk barang. Kalau melihat gambaran filmnya sih, memang sepertinya luar biasa menumpuknya barang dan sangat berserakan barang-barang di rumah tersebut ditambah mayat, yang rupanya salah satu mayat adalah jenazah anak perempuannya. Herannya, ibu tersebut sanggup tinggal di rumah dengan keadaan rumah seperti itu.
Rupanya, wanita tersebut dalam perawatan seorang psikiater. Psikiater tersebut menyatakan bahwa wanita ini mengidap schizofrenia dalam hal menumpuk barang. Schizofrenia menumpuk barang wanita ini sudah level 5 (lima), atau tingkat yang sudah parahlah istilahnya. Schizofrenia ini mungkin disebabkan tetap ingin mengingat nilai sejarah atau hal lainnya.
Berbicara schizofrenia, dulu sih saya memang sempat membaca sebuah novel yang diambil dari kehidupan nyata seseorang, bahwa schizofrenia itu banyak jenis. Ada yang suka bersih-bersih dengan cara membakar, itu juga schizofrenia. Tapi bukan berarti yang suka bersih-bersih itu schizofrenia loh… Mungkin yang levelnya tidak normal lho.. Seperti tiap jam bersih-bersih dan membakar sampahnya, walaupun sampahnya sedikit tetap saja harus dibakar.. Mungkin gambaran tidak normalnya seperti itu…
Kembali menyoal penumpuk barang tadi, mungkin tidak sedikit kita, termasuk saya, merupakan orang-orang yang juga suka menumpuk barang. Padahal barang-barang yang ada dan baru dibeli itu tidak semuanya terpakai, atau barang yang lama pun tidak mempunyai nilai sejarah.
Saya ingat persis ketika pertama kali datang ke rumah ini 6 (enam) tahun lalu, sepertinya rumah ini sangat sepi barang, akan tetapi sekarang sepertinya harus bertambah besar dan kalau bisa menambah tinggi juga ๐๐
Sebenarnya seperti biasa cerita-cerita CSI, jalan cerita film ini sungguh di luar dugaan juga bahwa rupanya anak bungsu perempuan si penumpuk barang ini yang melakukan pembunuhan terhadap 5 (lima) jenazah yang ditemukan. Anak bungsunya itu digarinya di suatu tempat di sebuah kamar, di belakang tumpukan kontainer barang yang disusun rapi.
Ibunya, si penumpuk barang, rupanya mau melindungi anak perempuannya dari dirinya sendiri untuk tidak melakukan pembunuhan terhadap orang lain. Ibunya sangat menyayanginya walau anak bungsunya ini sering berulah dan perilakunya diceritakan kurang baik. Ibunya, si penumpuk barang, menyembunyikan anaknya di belakang tumpukan kontainer yang berisi barang-barang anak perempuannya yang bungsu ini. Anaknya disembunyikan dengan keadaan diborgol dan ditemukan oleh investigator TKP.
Di akhir cerita film ini, Pemimpin Investigasinya merujuk pada seorang filsuf Erich Fromm, yang saya sangat suka membaca bukunya dan masih sangat berpengaruh pada prinsip hidup saya. Filsuf Erich Fromm terkenal dengan pembagian dua kondisi seseorang dalam eksistensi hidup, yaitu yang pertama adalah ‘having‘ atau ‘to have‘ atau ‘memiliki’, yang kedua adalah ‘being‘ atau ‘to be’ atau ‘menjadi’. Penumpuk barang jelas adalah seorang yang konsep hidupnya adalah having atau memiliki. Dia tidak bisa hidup secara lengkap dengan cara tidak memiliki yang diinginkannya. Ibu ini tidak bisa kehilangan baik barang yang mengingatkannya pada seseorang atau sesuatu, dan ibu ini walau sangat sayang pada anaknya, dia memperlakukannya tidak tepat, dengan cara menyimpan anaknya bukan membawanya ke tempat anaknya bisa disembuhkan.
Merujuk kembali pada moral cerita film ini, dan konsep hidup dari filsuf Erich Fromm, saya jadi diingatkan kembali, untuk tidak menjadi korban dunia ini dengan ribuan penawaran setiap harinya. Begitu juga dengan barang-barang yang sudah banyak bertumpuk di rumah ini, saya jadi diingatkan untuk kembali menata dan memilih apa yang perlu ada di rumah dan berfungsi. Dan menumpuk bukanlah kebiasaan yang sehat, tetapi cenderung membuat penyakit. Sebaiknya di rumah tempat bernaung, harus dipilih kebiasaan sehat. Menjadi pribadi yang sehat, menjadikan rumah yang sehat dan nyaman untuk ditempati…
Hidup ini lebih banyak menjalani pada pilihan-pilihan. Pilihannya ditentukan oleh konsep hidup memiliki atau menjadi. Saya diingatkan kembali untuk konsep hidup ‘menjadi’ bukan ‘memiliki’. Sekarang bukan kata terlambat untuk beberes… Memilih rumah untuk lebih sehat dan nyaman… Hmmmm…